Hoax & Post-Truth: Navigating Lies in the Digital AgeLho guys, pernah dengar istilah
hoax
atau
post-truth
? Di era digital yang serba cepat ini, dua kata ini sering banget kita dengar, bahkan kadang bikin kita pusing sendiri. Tapi jangan khawatir, di artikel ini kita akan
mengupas tuntas
apa itu hoax dan post-truth, kenapa mereka begitu merajalela, dan yang paling penting, bagaimana cara kita, sebagai warga digital yang cerdas, bisa melawannya. Jadi, siap-siap ya, kita bakal
menjelajahi dunia informasi
yang kadang tricky ini bareng-bareng!## What Exactly is a Hoax?Oke,
apa sih sebenarnya hoax itu
? Secara sederhana,
hoax
adalah
informasi palsu
yang sengaja dibuat dan disebarkan untuk menipu atau menyesatkan orang lain. Bayangkan seperti ini, guys: seseorang dengan sengaja membuat cerita yang sama sekali tidak benar, lalu menyebarkannya seolah-olah itu fakta, dengan
tujuan tertentu
—bisa jadi untuk keuntungan pribadi, untuk merusak reputasi orang lain, atau bahkan untuk sekadar iseng. Nah, itulah esensi dari hoax.Biasanya, sebuah
hoax memiliki beberapa karakteristik
yang cukup mudah dikenali, kalau kita jeli. Pertama, informasi yang disajikan seringkali
sensasional
,
provokatif
, atau
memicu emosi
yang kuat. Misalnya, judulnya bombastis, isinya bikin kita langsung marah, takut, atau terkejut. Tujuannya jelas, agar kita
langsung percaya dan tanpa pikir panjang langsung ikut menyebarkannya
. Kedua,
sumber informasinya seringkali tidak jelas
atau tidak kredibel. Kadang disebutkan ‘dari grup sebelah’, ‘kata teman’, atau ‘dari sumber terpercaya’ tanpa ada bukti konkret. Ketiga,
informasi hoax cenderung sulit diverifikasi
dengan mudah melalui sumber-sumber resmi atau media mainstream yang terpercaya. Keempat,
hoax seringkali memanfaatkan isu-isu yang sedang hangat
di masyarakat, agar lebih mudah diterima dan dipercaya oleh banyak orang yang sedang mencari tahu tentang topik tersebut.Contoh hoax itu banyak banget lho, guys! Dulu, kita sering dapat
chain message
di WhatsApp yang isinya tentang ‘peringatan virus baru’ atau ‘hadiah jutaan rupiah’ kalau kita sebarkan ke sepuluh kontak. Padahal, itu semua bohong belaka. Sekarang, bentuk hoax makin canggih, ada
foto yang diedit
,
video yang dipotong dan di luar konteks
, bahkan ada
deepfake
yang bisa memanipulasi wajah dan suara seseorang seolah-olah mereka mengatakan hal yang tidak pernah mereka katakan.
Dampaknya
?
Serem banget
, guys. Hoax bisa
mengikis kepercayaan publik
terhadap media, pemerintah, atau bahkan antar sesama warga. Di level yang lebih parah, hoax bisa
memecah belah masyarakat
, memicu konflik, kepanikan massal, bahkan
membahayakan nyawa
jika informasi palsu itu berkaitan dengan kesehatan atau keselamatan. Kita pernah kan dengar hoax tentang obat COVID-19 yang ternyata tidak ada dasarnya, atau tentang isu penjarahan yang ternyata cuma hoax tapi bikin orang panik dan rusuh.
Ini serius banget
, guys, karena
hoax bisa mengubah persepsi kita
tentang realitas dan membuat kita mengambil keputusan yang salah berdasarkan informasi yang keliru. Oleh karena itu, kemampuan kita untuk
mengidentifikasi dan melawan hoax
itu
penting banget
di zaman sekarang ini. Jangan sampai kita jadi korban, apalagi ikut-ikutan jadi penyebar hoax, ya!## Diving Deep into Post-TruthNah, kalau
hoax
itu tentang kebohongan yang sengaja disebarkan,
post-truth
ini sedikit berbeda, guys, tapi sama-sama bahaya. Jadi,
post-truth
adalah sebuah kondisi atau situasi
di mana
fakta objektif
menjadi kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan dengan
daya tarik emosional
atau
keyakinan pribadi
. Bingung ya? Gini, coba bayangkan: di masa post-truth, orang-orang cenderung
lebih percaya pada apa yang ‘terasa benar’
atau ‘sesuai dengan pandangan mereka’ daripada apa yang
terbukti benar
secara empiris atau ilmiah. Kebenaran faktual itu jadi
nomor dua
, sementara
emosi dan identitas
jadi raja.Istilah post-truth ini jadi
makin populer
setelah Pilpres Amerika Serikat tahun 2016 dan referendum Brexit, karena di momen-momen itu,
retorika yang mengedepankan perasaan dan keyakinan
jauh lebih
berdampak
daripada data dan fakta konkret. Karakteristik utama dari era post-truth adalah
penolakan terhadap keahlian
dan institusi yang dianggap sebagai penjaga kebenaran, seperti ilmuwan, jurnalis, atau akademisi. Orang-orang jadi
skeptis
terhadap apa pun yang berasal dari ‘establishment’ dan
lebih percaya pada influencer
atau ‘ahli’ dadakan yang pandangannya
selaras dengan bias pribadi
mereka.
Mengapa kondisi post-truth ini bisa terjadi dan begitu merajalela
? Ada beberapa faktor utama, guys. Pertama,
ledakan informasi
di internet dan media sosial. Kita dibanjiri begitu banyak data setiap hari sampai sulit membedakan mana yang kredibel. Kedua,
algoritma media sosial
yang menciptakan
echo chambers
atau
filter bubbles
. Artinya, kita cenderung hanya terpapar informasi yang
memperkuat
keyakinan kita sendiri, karena algoritma akan menampilkan konten yang mirip dengan apa yang sering kita lihat atau sukai. Ini membuat kita
jarang sekali
bertemu dengan pandangan yang berbeda atau fakta yang menantang keyakinan kita, sehingga
memperkuat bias konfirmasi
kita. Ketiga,
menurunnya kepercayaan
terhadap institusi tradisional, seperti media massa atau pemerintah, yang membuat orang mencari ‘kebenaran’ di tempat lain, seringkali di sumber yang
kurang terverifikasi
.Keempat,
rasa lelah atau apatis terhadap fakta
. Kadang, fakta itu kompleks dan butuh upaya untuk dipahami, sementara narasi emosional atau cerita yang
sederhana dan langsung nyentuh hati
jauh lebih mudah dicerna dan diterima. Misalnya, dalam isu perubahan iklim, meskipun ada konsensus ilmiah yang kuat, narasi yang
menolak
perubahan iklim dengan alasan ‘ekonomi’ atau ‘konspirasi’ bisa jadi lebih menarik bagi sebagian orang karena sesuai dengan kepentingan atau pandangan politik mereka.
Dampaknya
?
Bukan main
, guys. Post-truth bisa
memecah belah masyarakat
lebih dalam lagi, karena setiap kelompok punya ‘faktanya’ sendiri yang tidak bisa didiskusikan dengan kelompok lain. Ini
menyulitkan dialog konstruktif
dan
pencarian solusi bersama
untuk masalah-masaralah penting. Ketika fakta objektif dikesampingkan,
rasionalitas terkikis
, dan
fundamentalisme kepercayaan
menguat, baik itu dalam politik, sains, atau kehidupan sosial.
Post-truth adalah tantangan serius
bagi demokrasi dan kemajuan ilmu pengetahuan, karena tanpa pijakan fakta yang sama, bagaimana kita bisa bergerak maju sebagai sebuah masyarakat? Ini bukan lagi tentang ‘salah’ atau ‘benar’ dalam artian hoax, tapi tentang
mengapa orang menolak kebenaran
itu sendiri.## The Dangerous Duo: Hoax and Post-Truth IntertwinedCoba bayangkan ini, guys:
hoax
itu seperti virus yang mematikan, dan
post-truth
adalah kondisi tubuh yang lemah, kurang imun, dan
sangat rentan
terhadap serangan virus tersebut. Keduanya
bukanlah fenomena yang berdiri sendiri
, melainkan
saling memperkuat dan menciptakan ekosistem informasi yang sangat berbahaya
bagi kita semua. Inilah yang membuat situasi sekarang jadi
super tricky
dan
menantang
.
Hoax dan post-truth itu seperti sepasang penjahat
yang bekerja sama dengan sangat efisien untuk
membingungkan dan memanipulasi
kita.Bagaimana mereka saling berkaitan? Gini,
hoax seringkali menjadi bahan bakar
yang sempurna untuk
lingkungan post-truth
. Informasi palsu yang sensasional dan sarat emosi itu
sangat efektif
dalam memancing reaksi dari orang-orang yang sudah terbiasa memprioritaskan perasaan dan keyakinan di atas fakta. Dalam sebuah dunia post-truth,
kebenaran objektif sudah dianggap relatif atau bahkan dicurigai
, jadi ketika ada hoax yang muncul dan
sesuai dengan narasi
yang sudah ada di pikiran seseorang, hoax itu akan
lebih mudah diterima dan dipercaya
, bahkan tanpa verifikasi. Misalnya, jika seseorang sudah memiliki kebencian terhadap kelompok tertentu, dan kemudian muncul hoax yang menyudutkan kelompok tersebut, dia akan
cenderung langsung percaya
karena hoax itu
memperkuat bias dan emosinya
. Ia bahkan tidak akan repot-repot mencari tahu apakah informasi itu benar atau tidak.Di sisi lain,
kondisi post-truth juga menciptakan lahan subur
bagi penyebaran hoax. Ketika orang-orang
tidak lagi menghargai
fakta dan bukti, ketika mereka
lebih mementingkan narasi yang memuaskan emosi
atau identitas mereka, maka
pintu terbuka lebar
bagi siapa saja untuk menyebarkan kebohongan. Mereka tahu bahwa
selama hoax yang mereka sebarkan itu ‘terasa benar’
bagi targetnya, atau
memperkuat keyakinan yang sudah ada
, maka hoax itu
akan diterima
.
Tidak peduli
seberapa konyol atau tidak masuk akal hoax tersebut menurut standar faktual. Ini adalah
lingkaran setan
yang sulit diputus: hoax menyulut emosi dan memperkuat bias, yang pada gilirannya
meningkatkan kondisi post-truth
, membuat orang
makin rentan
terhadap hoax berikutnya.
Algoritma media sosial memainkan peran krusial
di sini, guys. Mereka dirancang untuk
menjaga kita tetap terlibat
di platform dengan menampilkan konten yang kita sukai atau yang memicu emosi kita. Akibatnya, jika kita sering berinteraksi dengan konten yang bernada hoax atau yang mendukung narasi post-truth, algoritma akan
terus-menerus menyodorkan lebih banyak lagi
konten serupa. Ini
membentuk sebuah gelembung informasi
di mana kita terus-menerus dikelilingi oleh pandangan yang sama, seringkali
berisi kebohongan atau interpretasi fakta yang bias
, sehingga
makin sulit
bagi kita untuk melihat perspektif yang berbeda atau fakta yang sebenarnya.
Dampak dari duo berbahaya ini
sangat signifikan
bagi masyarakat.
Kepercayaan sosial runtuh
, karena setiap orang punya ‘kebenaran’ sendiri.
Polarisasi meningkat
, karena orang-orang
makin terpecah belah
berdasarkan narasi yang mereka percayai.
Demokrasi bisa terancam
, karena pengambilan keputusan didasarkan pada informasi yang salah atau emosi, bukan pada pertimbangan rasional.
Ini bukan lagi sekadar masalah individu
, guys, tapi
masalah kolektif
yang
mendesak
untuk kita atasi bersama. Kita harus sadar bahwa di era ini,
kebenaran itu bukan lagi sesuatu yang otomatis diterima
, melainkan sesuatu yang
harus diperjuangkan
dan
diverifikasi
secara aktif oleh setiap individu.## Protecting Ourselves: Navigating the Information JungleDi tengah hutan belantara informasi yang penuh dengan hoax dan jebakan post-truth ini, kita
tidak boleh menyerah
, guys! Justru, kita harus
memperkuat diri dengan kemampuan
untuk
menyaring dan memilah informasi
dengan cerdas. Jadi,
bagaimana cara kita melindungi diri
dan menjadi penjelajah informasi yang tangguh? Ada beberapa trik yang bisa kita pakai, lho!Pertama dan yang paling penting adalah
berpikir kritis
. Ini kunci utamanya, guys. Jangan mudah percaya pada apa pun yang kita baca atau lihat, terutama jika informasi itu
terlalu sensasional
atau
memicu emosi kuat
seperti kemarahan atau ketakutan.
Selalu ajukan pertanyaan
seperti: